PSIKOLOGI
KESELAMATAN KERJA
1.
Pengertian
Psikologi Keselamatan Kerja
Psikologi
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku. Sementara
keselamatan kerja adalah tingkat kebebasan terhadap resiko atau bahaya pada
lingkungan kerja (Gloss, 1984). Coven (1995) mengatakan bahwa keselamatan kerja
dalam konteks yang lebih luas, mencakup baik aspek keselamatan maupun aspek
kesehatan kerja. Bedasarkan beberapa pengertian di atas maka istilah kesehatan
mengandung unsur kesehatan (unsur resiko, penyakit, bahaya). Jadi dapat
disimpulkan psikologi keselamatan kerja adalah suatu ilmu yang mempelajari
tingkah laku seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan kerja yang secara
khusus berhubungan dengan terbentuknya prilaku aman yang dapat meningkatkan keselamatan
kerja dan mempelajari terbentuknya prilaku tidak aman dalam bekerja yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.
2.
Kecelakaan
Kerja
Kecelakaan
kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja,
termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan
yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan
pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui (UU No3 Th
1992 :Jamsostek).
Kecelakaan
adalah suatu kejadian tak diduga dan tak dikehendaki yang mengacaukan proses
suatu aktivitas yang telah diatur (M. Sulaksmono, 1997) .Kecelakaan terjadi
tanpa disangka-sangka dalam sekejap mata dan terdapat empat faktor dalam satu
kesatuan berantai : lingkungan, bahaya, peralatan & manusia (Bennett NBS,
1995) Kecelakaan biasanya disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja itu sendiri
yang dapat membahayakan nyawa pekerjanya dan penyakit kerja akibat terkait.
Bahaya lain berasal dari kesalahan desain sistem mesin-manusia yang dapat menyebabkan
kecelakaan industri. Bahkan kecelakaan dalam tempat kerja dapat disebabkan pula
oleh kondisi kerja, dan prilaku pekerja.
3.
Teori-Teori
Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja
a.
Teori
Heinrich ( Teori Domino)
Teori
ini mengatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi dari suatu rangkaian kejadian.
Ada lima faktor yang terkait dalam rangkaian kejadian tersebut yaitu: lingkungan, kesalahan
manusia, perbuatan atau kondisi yang tidak aman, kecelakaan, dan cedera atau
kerugian ( Ridley, 1986 ).
b.
Teori Multiple
Causation
Teori
ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kemungkinan ada lebih dari satu penyebab
terjadinya kecelakaan. Penyebab ini mewakili perbuatan, kondisi atau situasi
yang tidak aman. Kemungkinan-kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan kerja
tersebut perlu diteliti.
c.
Teori
Gordon
Menurut
Gordon (1949), kecelakaan merupakan akibat dari interaksi antara korban
kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan lingkungan yang kompleks, yang
tidak dapat dijelaskan hanya dengan mempertimbangkan salah satu dari 3 faktor
yang terlibat. Oleh karena itu, untuk lebih memahami mengenai penyebab-penyebab
terjadinya kecelakaan maka karakteristik dari korban kecelakaan, perantara
terjadinya kecelakaan, dan lingkungan yang mendukung harus dapat diketahui
secara detail.
d.
Teori
Domino terbaru
Setelah
tahun 1969 sampai sekarang, telah berkembang suatu teori yang mengatakan bahwa
penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja adalah ketimpangan manajemen.
Widnerdan Bird dan Loftus mengembangkan teori Domino Heinrich untuk
memperlihatkan pengaruh manajemen dalam mengakibatkan terjadinya kecelakaan.
e.
Teori
Reason
Reason
(1995-1997) menggambarkan kecelakaan kerja terjadi akibat terdapat “lubang”
dalam sistem pertahanan. Sistem pertahanan ini dapat berupa
pelatihan-pelatihan, prosedur atau peraturan mengenai keselamatan kerja.
f.
Teori
Frank E. Bird Petersen
Penelusuran
sumber yang mengakibatkan kecelakaan. Bird mengadakan modifikasi dengan teori
domino Heinrich dengan menggunakan teori manajemen, yang intinya sebagai
berikut:
v Manajemen kurang
control
v Sumber penyebab
utama
v Gejala penyebab
langsung (praktek di bawah standar)
v Kontak peristiwa
( kondisi di bawah standar )
v Kerugian
gangguan (tubuh maupun harta benda)
4.
Prilaku
Berbahaya
Perilaku, pada
hakekatnya adalah aktifitas atau kegiatan nyata yang ditampikan seseorang yang
dapat teramati secara langsung maupun tidak langsung. Sementara bahaya adalah
yang (mungkin) mendatangkan kecelakaan (bencana, kesengsaraan, kerugian, dsb).
Jadi prilaku berbahaya adalah aktivitas atau kegiatan nyata seseorang yang
mendatangkan kecelakaan dan dapat diamati secara langsung maupun tidak
langsung. Ada beberapa prilaku berbahaya yang disebabkan human error, yaitu:
a.
Mengabaikan
aturan K3
b.
Mengoprasikan
fasilitas kerja yang bukan kewenangannya
c.
Bersendau-gurau
dan main-main
d.
Tidak
memakai peralatan K3
e.
Unsafe
lifting, pulling dan pushing
f.
Ketidak-tepatan
(teliti) dalam pengoprasian mesin/peralatan kerja
g.
Safety
devices tidak dioperasikan dengan benar
Human error
dalah setiap prilaku atau tindakan yang diluar batas yang bisa diterima.
Beberapa penyebab human error, yaitu :
a.
Human
Error karena lupa
b.
Human
Error karena salah paham
c.
Human
Error karena salah identifikasi
d.
Human
Error karena dilakukan amatir
e.
Human
Error karena kesengajaan
f.
Human
Error karena tidak sengaja
g.
Human
Error karena keterlambatan
h.
Human
Error karena special/surprise
i.
Human
Error karena kesengajaan untuk sabotase
5.
Sikap
Terhadap Keselamatan Kerja
Sikap menekankan
pada evaluasi individu terhadap objek, seperti ditunjukkan oleh definisi yang
dikemukakan Eagly dan Chaiken (1993) bahwa sikap merupakan tendensi psikologi
yang ditunjukkan dengan penilaian senang/tidak senang terhadap suatu objek.
Sedangkan pengetahuan keselamatan kerja merupakan ilmu pengetahuan dan
penerapannya guna mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan atau penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja. Dengan demikian, definisi sikap
terhadap pengetahuan keselamatan kerja lebih menekankan adanya evaluasi untuk
setuju/tidak setuju terhadap pengetahuan.
6.
Sumber
Stress di Tempat Kerja
Terdapat dua
faktor penyebab atau sumber muncuinya stres atau stres kerja, yaitu faktor lingkungan
kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001:75). Faktor lingkungan kerja dapat
berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan
pekerjaan. Sedangkan faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman
pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan
diri. Betapapun faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi
pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka
faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara
umum dikelompokkan sebagai berikut (Dwiyanti, 2001:77-79):
a.
Tidak
adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cenderung muncul pada para karyawan
yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di
sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga.
Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah
mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti
orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang
tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan)
akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya
dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan
tugasnya.
b.
Tidak
adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di kantor. Hal ini
berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan
pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat
memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya. Stres kerja
juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan
keputusan yang menyangkut dirinya.
c.
Pelecehan
seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan
berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai
dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak
kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan
senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang
sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau pengamayaan fisik
dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya
karena wanita. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang
tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis kelamin
cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindungmya (Baron and
Greenberg dalam Margiati, 1999:72).
d.
Kondisi
lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu
panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan
yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan
pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam
pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping
itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab
beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky
dalam Margiati, 1999:73).
e.
Manajemen
yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika gaya
kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang
sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis,
terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi
pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai
bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya,
seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan
menimbulkan stres (Minner dalam Margiati, 1999:73).
f.
Tipe
kepribadian. Seseorang dengan kepribadian tipe A cenderung mengalami sires dibanding
kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa
diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada
lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap
hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun
dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak
perusahaan akan selalu mengalami dilema ketika mengambil pegawai dengan
kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan
mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat
resiko serangan/sakit jantung (Minner dalam Margiati, 1999:73).
g.
Peristiwa/pengalaman
pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan,
kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah,
kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah
(pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stress paling
tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang
paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk
kategori ini (Baron & Greenberg dalam Margiati, 1999:73).
Davis dan
Newstrom (dalam Margiati, 1999:73) stres kerja disebabkan:
a.
Adanya
tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres,
akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan
baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagikaryawan.
b.
Supervisor
yang kurang pandai. Seorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya
biasanya di bawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor.
Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing
dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar.
c.
Terbatasnya
waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya mempunyai kemampuan normal
menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan
dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu,
pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya,
karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan
atasan.
d.
Kurang
mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan
kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa
diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan
harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.
e.
Ambiguitas
peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan
dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta scope dan
tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi
kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
f.
Perbedaan
nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau
manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti
maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme).
g.
Frustrasi.
Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa disebabkan banyak
faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi kerja adalah terhambatnya
promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf,
ketidakpuasan gaji yang diterima.
h.
Perubahan
tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum. Situasi ini bisa timbul
akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui
atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan
status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah perusahaan pertama.
i.
Konflik
peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender,
dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak
konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini
kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur.
Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak
sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya,
terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative.
Faktor-faktor di
pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategon besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan,
peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta
stniktur dan iklim organisasi Hurrel (dalam Munandar, 2001:381 - 401):
a.
Faktor-faktor
Intrinsik dalam Pekerjaan
Termasuk
dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik
misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja
malam, beban kerja, dan penghayatan dari resiko dan bahaya.
v Tuntutan fisik :
kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis diri
seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres
(stressor). Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap
pada alat pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan
peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi
demikian memudahkan timbulnya kecelakaan.
Misalnya tidak mendengar suara-suara
peringatan sehingga timbul kecelakaan. Ivancevich & Matteson (dalam
Munandar, 2001:381-383) bependapat bahwa bising yang berlebih (sekitar 80
desibel) yang berulangkali didengar, untuk jangka waktu yang lama, dapat
menimbulkan stres. Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah mengurangi
toleransi dari tenaga kerja lerhadap pembangkit stress yang lain, dan
menurunkan motivasi kerja. Bising oleh para pekerja pabrik dinilai sebagai
pembangkit stres yang membahayakan.
v Tuntutan tugas :
penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan sumber utama dan stres
bagi para pekerja pabrik (Monk & Tepas dalam Munandar, 2001:383-389). Para
pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut
daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan
makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.
Beban kerja berlebih dan beban kerja
terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih
lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit "kuantitatif', yang
timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan
kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja
berlebih/terlalu sedikit "kualitatif, yaitu jika orang merasa tidak mampu
untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan ketrampilan dan/atau
potensi dari tenaga kerja. Disamping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan
kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang
sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan dari stres. Everly & Girdano
(dalam Munandar, 2001:384-389) menambahkan kategori lain dari beban kerja,
yaitu kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif dan kuahtatif. Beban
berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak
hal, merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan. Unsur yangmenimbulkan beban
berlebih kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat
diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat Pada saat tertentu, dalam
hal tertentu waktu akhir (dead line) justru dapat meningkatkan motivasi dan
menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan
timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang
berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif.
Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif
juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang
sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa
monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau
sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya
perhatian. Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk
bertindak tepat dalam keadaan darurat.
Beban
berlebihan kualitatif merupakan pckerjaan yang dilakukan oleh manusia makin
beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk.
Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan
mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya
mcmerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang
dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif,
tetapi menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan
kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif.
Timbullah kelelahan mental dan reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian
menunjukkan bahwa kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguangangguan pada
perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif. Beban
terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi
peluang untuk menggunakan ketrampilan yang diperolehnya, atau untuk
mengembangkan kecakapan potensialnya secara pemih. Beban terlalu sedikit disebabkan
kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasiyang rendah
untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia "tidak maju-maju", dan
merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan ketrampilannya (Sutherland
& Cooper dalam Munandar, 2001:387).
b.
Peran
Individu dalam Organisasi
Setiap
tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap
tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan
yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun demikian
tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan
masaiah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu
meiiputi: konflik peran dan ketaksaan peran (role ambiguity).
v Konflik peran :
konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:
·
Pertentangan
antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia
miliki.
·
Tugas-tugas
yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari
pekerjaannya.
·
Tuntutan-tunlutan
yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai
penting bagi dirinya.
·
Pertentangan
dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas
pekerjaannya.
v Ketaksaan peran
: jika seorang pekerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan
tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan
dengan peran lertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan melipuli:
Ketidakjelasan dari saran-saran (tujuan-tujuan) kerja.
·
Kesamaan
tentang tanggung jawab.
·
Ketidakjelasan
tentang prosedur kerja.
·
Kesamaran
tentang apa yang diharapkan oleh orang lain.
·
Kurang
adanya balikan, atau ketidakpastian tentang produktifitas kerja.
Menurut
Kahn, dkk (dalam Munandar, 2001:392), stres yang timbul karena ketidakjelasan
sasaran akhirnya mengarah ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiiiki kepercayaan
diri, rasa tak berguna, rasa harga diri menurun, depresi, motivasi rendah untuk
bekerja, peningkatan tekanan darah dan delak nadi, dan kecenderungan untuk
meninggaikan pekerjaan.
c.
Pengembangan
Karir
Unsur-unsur
penting pengembangan karir meliputi:
v Peluang untuk
menggunakan ketrampilan jabatan sepenuhnya
v Peluang mengembangkan
kctrampilan yang baru
v Penyuluhan karir
untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karir.
Pengembangan
karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian
pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.
v Job Insecurity :
perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat mempunyai
dampak pada perusahaan. Reorganisasi dirasakan perlu untuk dapat mcnghadapi
perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah adanya
pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan yang baru. Dapat terjadi bahwa
pckerjaan yang baru memerlukan ketrampilan yang baru. Setiap reorganisasi
menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang
potensial.
v
Over
dan Under-promotion : setiap organisasi industri mempunyai proses pertumbuhan
masing-masing. Ada yang tumbuhnya cepat dan ada yang lambat, ada pula yang
tidak tumbuh atau setelah tumbuh besar mengalami penurunan, organisasi menjadi
lebih kecil. Pola pertumbuhan organisasi industry berbeda-beda. Salah satu
akibat dari proses pertumbuhan ini ialah tidak adanya kesinambungan dari
mobilitas vertical dari para tenaga kerjanya. Peluang dan kecepatan promosi
tidak sama setiap saat. Dalam pertumbuhan organisasi yang cepat, banyak
kedudukan pimpinan mcmerlukan tenaga, dalam keadaan sebaliknya, organisasi
terpaksa harus mcmperkecil diri, tidak ada pcluang untuk mendapatkan promosi,
malahan akan timbul kecemasan akan kehilanganpekerjaan. Peluang yang kecil
untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengizinkan maupun karena dilupakan,
dapat merupakan pembangkit stres bagi tenaga kerja yang rnerasa sudah waktunya
mendapatkan promosi. Perilaku yang mengganggu, semangat kerja yang rendah dan
hubungan antarpribadi yang bermutu rendah, berkaitan dengan stres dari
kesenjangan yang dirasakan antara kedudukannya sekarang di organisasi dengan
kedudukan yang diharapkan. Sedangkan stres yang timbul karena over-promotion
memberikan kondisi beban kerja yang berlebihan serta adanya tuntutan
pengetahuan dan ketrampilan yang lidak sesuai dengan bakatnya.
d.
Hubungan
dalam Pekerjaan
Hubungan kerja
yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah,
dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi.
Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi,
yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerja dan
ketegangan psikologikal dalam bcntuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan
dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekanrekan kerjanya
(Kahn dkk, dalam Munandar, 2001:395).
e.
Struktur
dan iklim Organisasi
Faktor stres
yang dikenali dalam kategorf ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja
dapat tcrlihat atau berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta
atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati
dan perilaku negalif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan
peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan
fisik.
f.
Tuntutan
dari Luar Organisasi/Pekerjaan
Kategori
pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang
dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu
organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang keluarga,
krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi
yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan,
semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya, sebagaimana
halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan
keluarga dan pribadi.
g.
Ciri-ciri
Individu
Menurut
pandangan intcraktifdari stres, stres ditcntukan pula oleh individunya scndiri,
sejauh mana ia melihat situasinya scbagai penuh stres. Reaksireaksi sejauh mana
ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi psikologis,
fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari
interaksi situasi dengan individunya, mcncakup ciri-ciri kepribadian yang khusus
dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai,
pengalaman masa lalu, kcadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain intcligensi,
pendidikan,
pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri individu
berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang
merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang
menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap pembangkit
stres potensial.
v Kepribadian :
mereka yang berkepribadian introvert bereaksi lebih negatif dan menderita
ketegangan yang lebih besar daripada mereka yang berkepribadian extrovert, pada
konflik peran. Kepribadian yang flexible (orang yang lebih lerbuka terhadap
pengaruh dari orang lain sehingga lebih mudah mendapatkan beban yang
berlebihan) mengalami ketegangan yang lebih besar dalam situasi konflik,
dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian rigid.
v Kecakapan :
merupakan variabel yang ikut menentukan stress tidaknya suatu situasi yang sedang
dihadapi, Jika seorang pekerja menghadapi masalah yang ia rasakan tidak mampu
ia pecahkan, sedangkan situasi tersebut mempunyai arti yang Panting bagi
dirinya, situasi tersebut akan ia rasakan sebagai situasi yang mengancam
dirinya sehingga ia mengalami stres. Ketidakmampuan menghadapi situasi
menimbulkan rasa tidak berdaya. Sebaliknya jika merasa mampu menghadapi situasi
orang justru akan merasa ditantang dan motivasinya akan meningkat.
v Nilai dan
kebutuhan : setiap organisasi mempunyai kebudayaan masing-masing. Kebudayaan
yang terdiri dari keyakinan-keyakinan, nilai-nitai dan norma-norma perilaku
yang menunjang organisasi dalam usahanya mengatasi masalah-masalah adaptasi
ekstemal dan internal. Para tenaga kerja diharapkan berperilaku sesuai dengan
norma-norma perilaku yang diterima dalam organisasi.
*) Modifikasi dari model Cooper, C.L (dalam Munandar, 2001:380)
Model Stres dalam pekerjaan
7.
Iklim
keselamatan kerja
a.
Pengertian
Iklim keselamatan Kerja
Landy (1985) menyatakan bahwa iklim
keselmatan kerja adalah sebuah persepsi pekerja pada sikap menejemen terhadap
keselamatan kerja dan pesepsi pada sejauh mana kontribusi keselamatan kerja
didalam proses produksi secara umum. Iklim keselamatan kerja merupakan
indicator bagaimana menejemen memperhatikan keselamatan kerja atau tidak dan
berpengaruh pada prilaku pekerja.
Hofmann dan
Stetzer (1996) bahwa konstruk iklim adalah “individu melampirkan makna dan
menafsirkan lingkungan dimana mereka bekerja. Makna ini untuk dan persepsi
kemudian mempengaruhi cara di mana individu berperilaku dalam organisasi
melalui sikap, norma, dan persepsi perilaku”.
Ilkim keselmatan
kerja menurut Schultz (1970) paling tidak harus meliputi 3 hal yang harus
dibuat secara sehat dan menyenangkan yaitu : 1) lingkungan fisik kerja, 2) aspek
psiko-sosial dari lingkungan komunitas dan 3) hubungan perkerja menejemen dan
kebijakan pegawai.
b.
Faktor-faktor
Iklim keselamatan kerjaKerja
Griffin and Neal
mengukur keselamatan yang terdiri dari lima sistem meliputi:
v Management Value
(Nilai Manajemen)
Nilai manajemen menunjukkan seberapa
besar manajer dipersepsikan menghargai keselamatan di tempat kerja, bagaimana
sikap manajemen terhadap keselamatan, dan persepsi bahwa keselamatan penting.
v Safety
Communication (Komunikasi Keselamatan)
Komunikasi keselamatan diukur dengan
menanyakan dimana isu-isu keselamatan dikomunikasikan.
v Safety Practices
(Praktek Keselamatan)
Yaitu sejauh mana pihak manajemen
menyediakan peralatan keselamatan dan merespon dengan cepat terhadap
bahaya-bahaya yang timbul.
v Safety Training
(Pelatihan Keselamatan)
Pelatihan adalah aspek yang sangat
krusial dalam sistem personalia dan mungkin metode yang sering digunakan untuk
menjamin level keselamatan yang memadai di organisasi karena pelatihan sangat
penting bagi pekerja produksi.
v Safety Equipment
(Peralatan Keselamatan)
Peralatan keselamatan mengukur tentang
kecukupan peralatan keselamatan, seperti alat-alat perlengkapan yang tepat
disediakan dengan mudah.
8.
Aspek-aspek
Psikososial Dalam Keselamatan Kerja
Situasi dan kondisi tempat kerja merupakan
faktor yang besar pengaruhnya terhadap komitmen kerja, suasana kerja yang menyenangkan, rekan
kerja yang kooperatif, pimpinan yang selalu memperhatikan karyawannya, kebijaksanaan yang mempengaruhi kerja dan karier mereka serta kompensasi yang adil merupakan dambaan bagi para karyawan sehingga karyawan
mengharapkan lingkungan kerja yang baik. Menurut Kozlowsky dan Doherty (Budiprasetyo, 1997)
aspek-aspek yang terdapat dalam persepsi terhadap lingkungan psikososial kerja antara lain yaitu
:
a.
Struktur
kerja. Kejelasan secara detail dan rinci pekerjaan yang
harus dikerjakan serta kejelasan deskripsi jabatan masing-masing karyawan.
b.
Tanggung
jawab kerja, yaitu kejelasan pemisahan tanggung jawab antara karyawan yang
satu dengan
karyawan yang lain sehingga tidak terjadi pelemparan
atau tanggung jawab atas pekerjaan yang tidak sesuai.
c.
Tekanan
kerja, yaitu besarnya beban kerja yang diberikan pada
setiap karyawan haruslah disesuaikan dengan kemampuan fisik dan akademik yang seimbang
antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain.
d.
Kebebasan
mengambil keputusan, yaitu kesempatan karyawan dalam mengambil
keputusan dengan
kebebasan bertanggung jawab tanpa ada tekanan dari pimpinan.
e.
Dukungan
pimpinan, yaitu pimpinan menganggap bawahannya sebagai partner yang
turutdilibatkan
untuk mencapai tujuan bersama, dan pimpinan berperan sebagai sosok
yang mendukung
dan memberikan perhatian terhadap karyawan dalam rangka kesuksesan kerja.
f.
Kebersamaan,
yaitu interaksi antara karyawan satu dengan karyawan
yang lain secara terbuka sehingga tercipta keterbukaan dalam masalah kerja dan menciptakan
kerja yang berkualitas.
Gondokusuma (1980) membagi lingkungan baik
secara fisik maupun psikososial. Indikator dari lingkungan psikososial adalah :
a.
Kebijaksanaan. Kebijaksanaan meliputi program
kerja, prosedur
dari pedoman yang memuat norma, standar atau sasaran dari kerja
sehari-hari serta usaha dalam jangka yang lebih panjang.
b.
Syarat kerja. Syarat kerja yaitu semua
kewajiban yang ditetapkan
oleh atasan dan juga imbalan kepada pegawai.
c.
Kepemimpinan. Dalam hal ini kebijaksanaan
kepemimpinan
adalah cara pihak atasan mendekati, mendorong, membimbing serta
mengawasi pegawai
sehingga tercapai suatu keseimbangan yang diharapkan.
d.
Semangat. Semangat dapat dipengaruhi oleh
kebijaksanaan
kepemimpinan dan merupakan pengaruh utama pada
sumbangan pegawai karena akan membuat pegawai mencapai hasil yang lebih tinggi tanpa menjemukan.
e.
Kerjasama. Kerjasama dalam kelompok adalah
refleksi moral
dan akan baik apabila moralnya tinggi. Ada baiknya
jika pegawai dengan kemampuan kerja serta daya tahan kerja keras yang setaraf itu dimasukkan ke dalam suatu kelompok kerja.
f.
Prestasi dan produktivitas. Prestasi dan
produktifitas yang tinggi pada beberapa pegawai dapat mendorong pegawai lain untuk bekerja lebih giat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
pengukuran lingkungan psikososial kerja yaitu struktur kerja,
tanggung jawab, tekanan
kerja, kebebasan mengambil keputusan, dukungan
pimpinan, kebersamaan, kebijaksanaan, syarat kerja, prestasi dan produktivitas.
DAFTAR
PUSTAKA